“Kalian sudah kalah dari anak IPS.
Satu-satunya kesempatan yang kalian punya adalah lomba melukis. Untuk
membuktikan bahwa kelas kalian memang unggulan, menangkan lomba melukis
tersebut. Siapa perwakilan dari kelas ini untuk lomba melukis?”
“Weny mam”
“Weny kamu harus juara satu”
Apa??
Whatt?
* * *
Udara
panas masih selalu saja menghantui kota ini menjelang tengah hari. Aku
mengambil buku tipis dari tas mungilku, dengan cepat dan lihai aku mengipasi
wajahku. Panas. Pastinya. Bahkan sangat panas. Ditambah lagi dengan pelajaran
Bahsa Inggris yang semakin membuat ruangan ini semakin panas. Jelas sekali aku
Weny benar-benar tidak menyukai pelajaran tersebut. Aku juga tidak tahu kenapa,
mungkin dikarenakan terlalu banyak formula-formula yang ribet dan bikin pusing
kepala.
“Uda selesai menerjemahkannya?”
tanya Mam atau Mrs. Rahma dengan nada suara yang bisa membangunkan orang
sekampung. Ya. Aku dan semua orang di sekolah ini tahu. Beliau adalah guru yang
tegas.
“Belum Mam” jawab kami dengan
serempak.
“Ngomong-ngomong, saya sangat kecewa
karena kalian bertengkar dengan anak jurusan IPS kemarin. Kalau anak IPS menang
pertandingan-pertandingan olahraga sudah wajar, karena itu sudah menjadi bagian
jurusan mereka.”
Upss.
Kejadian kemarin lagi. Duuh Mam, kenapa sih masih mengungkit kejadian kemarin
lagi ?. Hanya karena wasit yang tidak adil saat pertandingan bola antara
kelasku 3 IPA 1 dan 3 IPS 1, sehingga skor nilai pun dipertanyakan! Dan kemaren,
hampir saja seluruh pemain beradu jotos. Dan untungnya keadaan aman dan
terkendali.
“Bukan Mam, wasitnya yang tidak adil
dan salah memberikan skor.” sela Boby
“Benar Mam” sambung Reza.
“Benar Mam” sambung Reza.
“Iya tetapi paling tidaknya kalian
lebih baik mengalah. Saya sudah tau mereka sudah banyak memenangkan lomba di
perayaan Hari Sumpah Pemuda ini” kata Mam “Kalian sudah kalah dari anak IPS.
Satu-satunya kesempatan yang kalian punya adalah lomba melukis. Untuk
membuktikan bahwa kelas kalian memang unggulan, menangkan lomba melukis
tersebut. Siapa perwakilan dari kelas ini untuk lomba melukis?”
Memenangkan lomba melukis? Oh My God. Perasaanku semakin lama
semakin gak enak dan gelisah.
“Weny mam” teriak teman-temanku.
“Weny kamu harus juara satu”
Apa?? Whatt? Jleeeb. Rasanya seribu pisau sedang menusuk kepalaku saat
ni. Aku? Impossible! Oh God. Aku
memang pernah mengikuti lomba melukis. Tapi tak pernah menang sama sekali. Dan
sekarang ? Mam menantangku untuk memenangkan perlombaan itu ? Ini benar-benar
hal tergila dalam hidupku. Yang lebih mengerikan lagi, teman-temanku sangat
berharap padaku. Apa yang harus ku lakukan?
*
* *
“Oke” kataku sambil menarik nafas
perlahan “Ini pensil, ini penghapus, kertas dan cat lukis” kataku pada diri
sendiri. Aku menatap benda-benda itu dengan seksama. Jam sudah menunjukkan
hampir tengah malam. Tetapi aku masih dan mematung di depan meja belajar di kamarku.
Apa yang harus ku gambar?. Tema Lomba itu adalah Sekolah. Dan dengan sangat
terpaksa aku harus memikirkn gmabar apa yang akan aku lukis.
“Bagaimana ini?” kataku perlahan. Beberpa menit berlalu. Tiiiing. Sebuah inspirasi muncul diatas kepalaku. Tanganku mulai bergerak untuk menggambar sketsa. Dengan perlahan, tanganku dan pikiranku mulai mengombinasikan imajinasi di atas kertas. Apa yang ku gambar kali ini? Hanya seorang Guru dan beberapa murid yang sedang belajar di sebuah pondok kecil. Aku memandang sejenak gambar sketsaku. Mungkin menarik. Dan mungkin ini yang akan aku gambar di lomba nanti. Mungkin.
“Bagaimana ini?” kataku perlahan. Beberpa menit berlalu. Tiiiing. Sebuah inspirasi muncul diatas kepalaku. Tanganku mulai bergerak untuk menggambar sketsa. Dengan perlahan, tanganku dan pikiranku mulai mengombinasikan imajinasi di atas kertas. Apa yang ku gambar kali ini? Hanya seorang Guru dan beberapa murid yang sedang belajar di sebuah pondok kecil. Aku memandang sejenak gambar sketsaku. Mungkin menarik. Dan mungkin ini yang akan aku gambar di lomba nanti. Mungkin.
* * *
Hari H.
Aku menarik
nafas perlahan. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Jam menunjukkan pukul
1 siang. Lomba itu akan dimulai 2 jam lagi tepatnya pukul 3 siang.
“Semangat” Septi
memberikan dukungan padaku. Aku tersenyum perlahan. Aku masih ragu dengan
gambar yanag akan aku lukis. Aku mulai mondar-mandir keluar ruangan. Dan benar
saja, ternyata aku harus mengganti gambarku. Dengan cepat aku kembali ke dalam
ruangan dan mengambil pensil dan penghapus. Ini yang kucari. Ini perasaanku.
Ahhh. Kenapa tidak terpikirkan dari kemarin-kemarin. Goresan pensil mulai terurai
di kertas putih di tanganku. Pikiran dan tanganku masih bekerja. Masih
mengombinasikan sesuatu yang luar biasa. Semangatku bahkan menjadi dua kali
lipat. Aku tidak gugup lagi. Aku tidak gugup. Thanks God atas imajinasi yang Kau berikan.
“Siap” aku tersenyum
lebar. Aku memperhatikan kembali sketsa gambar di hadapanku. Gambar ruangan
depan kelasku terukir indah disana. Aaah. Seharusnya ini yang ku gambar. Semua
perasaanku tercurahkan disana. Di ruangan kelasku. Bukan hanya sekedar gambar
biasa. Gambar itu mempunyai cerita tersendiri. Tentang aku dan teman-temanku.
Baiklah! Akan aku lakukan. Teman-temanku percaya padaku. Dan aku pasti bisa.
Aku harus bisa. Bismillahirromanirrohim.
* * *
“Juara 3 dari 3
IPA Satu atas nama Dimas” sahut Protokol. Aku tersenyum masam. Masih adakah
harapan untuk jadi pemenang? Ya, walaupun Dimas juga teman sekelasku, tetapi
kelasku harus mendapatkan juara satu.
“Juara 2 dari Kelas
2…..” sambung Protokol. Aaaah. Aku sudah hampir patah semanagat. Mungkin memang
kelasku benar-benar kalah seperti yang dikatakan Mam.
“Dan juara satu
dari 3 IPA Satu, Weny..” teriak protokol. Aku? Tubuhku mati kaku. Aku tak bisa
berkata-kata. Aku memenangkan lomba ini? Aku memenangkan tantangan Mam? Impossible. Semua teman-temanku
berteriak heboh. Aku maju ke depan untuk mengambil hadiah. Ini pertama kalinya
dalam hidupku memenangkan lomba melukis dari sekian banyak lomba melukis yang
pernah ku ikuti. Ini hadiah terindah dari Allah sebelum aku tamat dari sekolah
ini. Seolah-olah ini adalah penutup Bab terakhir perjalanan putih abu-abuku. It’s unbelievable. Terima kasih sudah
percaya padaku teman-teman. Its Impossible but Unbelievable.